KEKERASAN TERHADAP ANAK JALANAN
Kasus kekerasan terhadap anak merupakan isu sentral yang banyak dibicarakan dewasa ini. Meskipun telah diberlakukan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, namun masih saja kekerasan terhadap anak marak terjadi. Yang paling fenomenal adalah anak-anak korban pembunuhan berantai dengan tersangka Baikuni alias Babe yang telah mencapai 14 orang. Jumlah tersebut berdasarkan keterangan terakhir Babe yang telah mengaku telah membunuh 4 bocah lagi, sejak tahun 1993.
Tercatat , Sejak tahun 2007 ada peristiwa serupa yang menimpa tiga orang anak laki-laki di Jakarta Timur dan Bekasi. Pada 9 Juli 2007 ditemukan potongan tubuh anak laki-laki berusia 10 tahun dibungkus plastik di Jalan Raya Bekasi, tidak jauh dari pasar Klender, Jakarta Timur. 14 Januari 2008 potongan tubuh anak laki-laki tanpa kepala berusia sekitar 10-12 tahun ditemukan di dekat pusat belanja Bekasi Trade Center, Jalan Joyomartono, Bekasi. Dan pada 15 Mei 2008 juga ditemukan potongan tubuh anak laki-laki tanpa kepala berusia 10-12 tahun dalam kardus di Terminal Pulogadung, Jakarta timur. Pada tubuh anak-anak tersebut terdapat tanda-tanda kekerasan seksual atau sodomi. Hingga kini polisi masih belum menemukan identitas ketiga korban tersebut.
Korban-korban pria asal Magelang, Jawa Tengah ini, sebagaimana temuan polisi, adalah anak-anak jalanan, berusia di bawah 12 tahun. Dari pengakuan Babe, korban dibunuh karena menolak disodomi. Setelah disodomi, tubuh korban dimutilasi, dan kemudian dibuang. Kondisi ini semakin memprihatinkan dikarenakan ada ribuan anak-anak yang terpaksa mencari nafkah di jalanan di Jakarta dan sekitarnya. Selama masih di jalanan, mereka membutuhkan "perlindungan". Anak-anak jalanan sering dikejar petugas Trantib atau Satpol PP, karena dinilai merusak keindahan kota. Begitupun dengan ulah para preman, yang memeras anak-anak jalanan.
Secara global, diperkirakan ada sekitar 100 juta anak jalanan di seantero dunia. Sebagian besar anak jalanan adalah remaja berusia belasan tahun. Tetapi tidak sedikit yang berusia di bawah 10 tahun. Sedangkan di Indonesia, data terakhir yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 menyebutkan terdapat 154.861 jiwa anak jalanan, yang menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), hampir separuhnya berada di Jakarta. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat seiring dengan dilaksanakannya sensus penduduk pada 2010 ini.
Anak jalanan bertahan hidup dengan melakukan aktivitas di sektor informal, seperti menyemir sepatu, menjual koran, mencuci kendaraan, menjadi pemulung barang-barang bekas. Sebagian lagi mengemis, mengamen, dan bahkan ada yang mencuri, mencopet atau terlibat perdagangan sex.
Peningkatan jumlah anak jalanan yang pesat merupakan fenomena sosial yang perlu mendapat perhatian serius dari berbagai pihak. Perhatian ini tidak semata-mata terdorong oleh besarnya jumlah anak jalanan, melainkan karena situasi dan kondisi anak jalanan yang buruk di mana kelompok ini belum mendapatkan hak-haknya bahkan sering terlanggar.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa dunia jalanan adalah dunia yang penuh dengan kekerasan dan eksploitasi. Berbagai kasus kekerasan terhadap anak masih terus terjadi secara silih berganti. Kasus itu dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, maupun kekerasan seksual.
Laporan Studi Tentang Kekerasan Terhadap Anak yang dirilis oleh PBB pada 29 Agustus 2006 menyatakan hamper 53.000 anak telah meninggal di seluruh dunia pada tahun 2002 sebagai akibat homisida. Dari anak-anak yang mengalami homisida tersebut 22.000 atau hampir 42 persennya berusia 15-17 tahun dan dari jumlah tersebut 75% adalah laki-laki. Disamping itu terdapat sebanyak 80-98 % mengalami hukuman fisik. Sekitar 150 juta anak laki-laki berusia 18 tahun menagalami pemaksaan hubungan seksual atau bentuk kekerasan lainnya selama tahun 2002.
Pusat-pusat kajian bahkan mencatat adanya peningkatan angka tindak kekerasan terhadap anak yang cukup mencolok dari tahun ke tahun. Komisi Perlindungan Anak Nasional (KPAI) mencatat, selama Januari-April 2007 terjadi 417 kasus kekerasan terhadap anak. Ini mencakup kekerasan fisik (89 kasus), kekerasan seksual (118 kasus), dan kekerasan psikis (210 kasus). Di antaranya 226 kasus terjadi di sekolah. Sedangkan periode yang sama tahun sebelumnya menunjukkan terjadi 247 kasus kekerasan fisik (29 kasus terjadi di sekolah), kekerasan seksual 426 kasus (67 kasus di sekolah), kekerasan psikis 451 kasus (96 kasus di sekolah). Fakta yang ada di lapangan diperkirakan lebih memprihatinkan. Bahkan diperkirakan kekerasan terhadap anak sudah mencapai titik kritis karena terjadi setiap dua menit sekali. Hal lain yang lebih memprihatinkan adalah bahwa sebagian kekerasan terhadap anak itu justru dilakukan oleh para guru dan aparat negara - dua elemen masyarakat yang seharusnya paling bertanggung jawab dalam melindungi anak-anak.
Berbagai penelitian, laporan program, hasil monitoring dan pemberitaan media massa telah banyak mengungkap situasi buruk yang dialami oleh anak jalanan Semarang. Monitoring PAJS (1997) di kawasan Tugu Muda pada periode Juli-Desember 1996, mencatat dari 22 kasus kekerasan terhadap anak jalanan 19 kasus (86,3%) dilakukan oleh petugas keamanan (kepolisian, Satpol PP, dan TNI) yang seharusnya memberikan perlindungan terhadap mereka. Hal senada diungkap pula dalam laporan penelitian YDA (1997) yang menyatakan bahaya terbesar yang paling sering dialami anak jalanan adalah dikejar polisi di mana 91% anak yang pernah tertangkap mengaku mengalami penyiksaan (Permadi & Ardhianie ; 1997).
Kekerasan lainnya adalah kekerasan dan eksploitasi seksual. Hampir seluruh anak jalanan perempuan pernah mengalami pelecehan seksual terlebih bagi anak yang tinggal di jalanan. Ketika tidur, kerapkali mereka menjadi korban dari kawan-kawannya atau komunitas jalanan, misalnya digerayangi tubuh dan alat vitalnya. Bentuk kekerasan lain adalah perkosaan. Setara (1999) dalam laporannya menyatakan bahwa 30% anak jalanan perempuan mengalami hubungan seksual pertama akibat perkosaan. Tak jarang perkosaan dilakukan oleh sekelompok orang.
Di kawasan Simpang Lima Semarang, kasus-kasus semacam ini sering terjadi yang dilakukan oleh sekelompok orang tertentu. Lalu belum lama ini kita dikejutkan oleh pemberitaan media massa mengenai dugaan kekerasan dan eksploitasi terhadap puluhan anak jalanan yang justru dilakukan oleh pendampingnya sendiri ( Radar Semarang & Wawasan, 2 September 2000; Kompas, 4 September 2000).
Anak jalanan perempuan juga diketahui rentan menjadi korban eksploitasi seksual komersial yang meliputi prostitusi, perdagangan untuk tujuan seksual dan pornografi. Pada tahun 1997, YDA mencatat ada 8% anak jalanan di Semarang yang dilacurkan. Tahun berikutnya meningkat menjadi 28% (PSW Undip; 1998) dan meningkat lagi menjadi 46,4% (Setara; 1999). Indikasi perdagangan anak untuk prostitusi dengan sasaran anak jalanan perempuan yang pernah dikemukakan oleh Setara (1999). Pada perkembangannya indikasi tersebut semakin kuat. Hasil monitoring Yayasan Setara dalam periode Januari-Juni 2000 mencatat ada 10 anak yang diperdagangkan ke daerah Batam dan Riau (Shalahuddin,; 2000).
Kekerasan sudah menjadi bagian kehidupan yang tidak terpisahkan yang dialami oleh setiap anak jalanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali kekerasan selalu menyertai mereka. Inilah yang disebut dengan teori spiral kekerasan yang dikemukakan oleh Dom Helder Camara (1971) . Yang menjelaskan tentang tiga lapisan kekerasan. Pertama, kekerasan ketidakadilan akibat egoisme penguasa dan kelompok. Kedua, perjuangan keadilan lewat kekerasan. Ketiga, kekerasan dari tindakan represi pemerintah.
Pada lapisan pertama ini anak-anak jalanan selalu tidak dihargai oleh negara apalagi mendapatkan keadilan yang setara dengan anak-anak lainnya. Mereka selalu dianggap sampah masyarakat yang tidak berguna sehingga harus diperlakukan secara kasar dan tidak manusiawi. Atas nama keindahan dan ketertiban kota sering sekali anak jalanan menjadi tumbal atau objek kriminalisasi oleh aparatur negara yang dilegitimasi oleh pengusa melalui berbagai peraturan.
Egoisme Inilah yang memicu munculnya lapisan kedua di mana anak-anak jalanan melakukan perjuangan keadilan. Biasanya korban kekerasan bisa didorong untuk melakukan kekerasan. Sasaran kekerasan berupa simbol-simbol penguasa dan lain sebagainya. Lahirlah beragam demo atau unjuk rasa yang kadang anarki. Demo itu tak bisa dibiarkan begitu saja. Atas dalih stabilitas nasional, represi pemerintah berupaya memadamkan demo. Represi itu bermuatan kekerasan. Begitulah seterusnya di mana kekerasan akhirnya menjadi siklus dari sebuah ritme kehidupan anak jalanan.
Selain itu, kurangnya kepedulian dan sensitifitas negara terhadap permasalahan anak-anak jalanan telah menyebabkan berlakunya hukum rimba di tengah komunitas mereka. Di mana yang kuat yang berkuasa dan berhak melakukan kekerasan maupun eksploitasi terhadap mereka. Kasus ini seperti fenomena gunung es yang sulit terungkap ke permukaan disebabkan tidak adanya laporan maupun kurang bukti dan lain sebagainya.
Jika ingin disimpulkan ada dua bentuk kekerasan yang sering dialami anak jalanan yakni kekerasan yang dilakukan oleh aparatur pemerintah (torture) maupun kekerasan yang dilakukan senior atau preman-preman (abuse/violence).
Negara dalam hal ini pemerintah pusat atau pun daerah sudah seharusnya melakukan respon terhadap masalah ini karena telah melakukan kekerasan struktural terhadap anak-anak jalanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penerapan kekerasan terhadap anak-anak jalanan merupakan pelanggaran terhadap konstitusi. Hal ini berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28b ayat 2 disebutkan, Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Pasal 34 (1) berbunyi, Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara.
Dalam UU Perlindungan Anak No 23 Tahun 2002 disebutkan secara jelas di dalam pasal 2, 3, 4, 13, 15, dan 16 tentang negara harus melindungi setiap anak dari semua tindakan kekerasan dan diskriminasi. Sementara di dalam Konvensi Hak Anak dinyatakan dengan tegas dalam pasal 19 yang berbunyi bahwa negara akan mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan yang layak guna melindungi anak dari semua bentuk kekerasan. Sementara pasal 37 menjelaskan bahwa tidak seorang anak pun boleh mejalani siksaan atau perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau menurunkan martabat.
Anak jalanan menurut Konvensi Vol III No.3 April 1999 termasuk dalam kelompok anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus yang disebut Children in Need of Special Protection (CNSP). Ada beberapa situasi yang dianggap rawan sehingga mereka membutuhkan pelindungan khusus. Pertama, anak yang berada pada lingkungan dimana hubungan anatara anak dan orang-orang disekitarnya, khususnya orang dewasa, penuh dengan kekerasan atau cenderung tidak peduli atau menelantarkan. Kedua anak-anak yang berada pada lingkungan yang sedang menagalami konflik bersenjata. Ketiga, anak-anak yang berada dalam ikatan kerja, baik formal maupun informal yang membawa pada kurangnya perhatian pada perkembangan, pertumbuhan dan perlindungan yang memadai. Keempat, anak-anak yang melakukan pekerjaan yang mengadung resiko tinggi seperti bekerja di bidang konstruksi, diatas geladak kapal, pertambangan, pengecoran dan anak-anak yang bekerja pada industri seks komersial. Kelima, anak-anak yang terlibat pada penggunaan zat psikoaktif. Keenam, anak-anak yang karena kondisi fisik ( cacat sejak lahir atau cacat karena kecelakaan), latar belakang budaya ( minoritas), sosial ekonomi (tidak memiliki akte kelahiran, KTP, Miskin) maupun secara politis orang tuanya rentan terhadap perlakuan diskriminatif. Ketujuh, anak-anak yang karena status perkawinan orang tuanya rentan terhadap tindakan diskriminatif. Kedelapan, anak-anak yang sedang berhadapan dan mengalami konflik dengan hukumdan harus berhadapan dengan hukum.
Ada beberapa hal yang dapat disimpulkan dari pembahasan diatas bahwasanya kekerasan terhadap anak seringkali kurang terlaporkan. Hanya sebagian kecil dari semua tindakan kekerasan terhadap anak yang dilaporkan dan diinvestigasi, dan sedikit pelaku saja yang diminta pertanggungjawaban di muka hukum. Anak yang masih kecil kurang memiliki kemampuan untuk untuk melapor kekerasan yang terjadi. Anak sering mengalami ketakutan terhadap balas dendam pelaku atau campur tangan pihak berwenang, dua hal yang bias memperburuk situasi mereka secara keseluruhan.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah kekerasan dapat berdampak luar biasa pada anak. Akibat kekerasan pada anak bisa beragam, tergantung pada sifat dan tingkat keseriusannya. Namun kekerasan jangka pendek dan jangka panjang yang terulang-ulang dapat berakibat luar biasa. Kekerasan pada tahap awal masa kanak-kanak dapat dapat mempengaruhi proses kematangan otak. Kekerasan pada anak yang berkepanjangan baik sebagai saksi maupun sebagai korban dapat mengganggu system kekebalan dan system syaraf dan dapat menimbulkan kecacatan,gangguan social,emosional dan kognitif anak serta perilaku yang menyebabkan timbulnya penyakit, cedera dan masalah sosial.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan termasuk satu kelompok anak yang memerlukan perlindungan khusus. Mereka perlu mendapat perlindungan khusus akibat berada pada lingkungan yang penuh dengan kekerasan atau cenderung tidak peduli atau menelantarkan. Fisik dan psikis mereka juga berada pada dituasi yang sangat rawan.hak untuk hidup tumbuh-kembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi kurang terpenuhi atau bahkan tidak terpenuhi. Padahal hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga dan masyarakat,pemerintah dan Negara. Perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.
No comments:
Post a Comment